Balada tidak terikat banyaknya baris dalam satu bait, perimaan.
Tetapi tetap harus memperhatikan diksi atau pemilihan kata yang tepat.
Inilah salah satu contohnya:
Inilah baladaku…
Seorang mantan anak putih-biru
Dengan peluh mengucur di dahi
Terpaksa menyandang dawai berirama nan tua
Menjajakan suara parau di bisingnya jalanan
Hardik dan bentakan sering kutemui
Tatap sinis penuh cemooh menu makananku tiap hari
Kelebat hitam para preman jalanan membayang di belakang langkahku
Sedang rupiah sulit kujumpai
Habis kikis ditelan ganasnya hidup
Kisah tragisku ini diawali dari kecelakaan maut
Yang memaksa pulang kedua orang tuaku padaNya
Dahan tempat bergantung kami patah
Kantong asaku tercabik-cabik…
Aku dan saudara mudaku kehilangan tumpuan cita
Apa daya…. apa kuasa…
Kala kawan menimba ilmu di bangku sekolah
Kala sahabat bergelak tawa di halaman
Ku hanya termangu berlinang air mata di depan gerbangnya
Tak ada pundi-pundi dana untuk melanjutkan sekolah
Hanya ini yang ku punya :
Gelar seorang pengamen jalanan
Juga masa depan sesuram mendung kelam
Tapi sang waktu seakan cuek dan tak mau perduli
Terus berputar ….dan terus berputar…
Ku harus melanjutkan hidup ini!!!
Terik sengatan sang Surya, dan tangisan hebat sang langit
Menyertai alunan melodi serakku, membahana membelah udara raya
Yang terbayang hanya seonggok uang lusuh di genggaman
Dan pekik gempita saudara mudaku saat menerimanya di rumah
Salah siapa? Dosa siapa?
Apakah Sang Khalik berat sebelah pada umatNya?
Yang satu bergelimang harta, yang lain dilanda duka nestapa
Inilah baladaku….
Manusia yang seringkali dipandang sebelah mata oleh dunia
Sampah yang tak jarang digusur dan disingkirkan
Demi mewujudkan mimpi sederhanaku menjadi manusia seutuhnya
Mampukah kuwujudkan anganku ini?
Biarlah semua ini menjadi rahasia Ilahi
Beserta sang kala, akan terus kucari kunci jawabanNya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar